Terhitung 3 bulan sejak Muktamar Al Azhar 2019 yang lalu, besok kita akan menyambut Rakernas IKANU (Ikatan Alumni Nahdlatul Ulama), yang diselenggarakan oleh Alumni Mahasiswa Al Azhar, Mesir, yang notabene Nahdliyyin, tanggal 7 8 Maret di Cirebon. Organisasi ini cukup besar dengan jumlah anggota lebih dari 30.000 anggota Sebagai anggota IKANU, penulis menyadari bahwa Indonesia adalah negara dengan kekayaan alam yang melimpah. Berdasar data Kementerian Keuangan tahun 2018, penerimaan pemerintah dari Sumber Daya Alam mencapai 161 triliun rupiah. Angka ini terdiri dari sektor minyak dan gas (migas) sebesar Rp. 143,3 triliun dan sisanya berasal dari sektor lain. Potensi kekayaan Indonesia seharusnya disyukuri oleh segenap elemen bangsa dengan merancang pengembangan dan tata kelola yang berorientasi pada nilai nilai luhur Pancasila, terutama sila kelima, "Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia."
Sayangnya, dampak kekayaan alam pada tingkat perbaikan ekonomi dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia menyisakan celah kritik. Badan Pusat Statistik masih menyebutkan bahwa angka penduduk miskin per September 2019 sebesar 24,79 juta orang. Angka itu diklaim menunjukkan penurunan tingkat kemiskinan 0,88 juta dari tahun 2018. Kritik keras atas klaim BPS tersebut dapat diterima. Pengamat Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan setidaknya ada tiga poin masalah: 1) data BPS diambil dari sampel pengeluaran, bukan pemasukan. Orang punya hutang besar, karena pengeluaran besar, akan dianggap tidak miskin, 2) survei dilakukan saat panen raya. Bagaimana jika tidak saat panen?, dan 3) BPS yang sejatinya lembaga independen mendapat pengarahan politis dari presiden sebelum survei dan rilis laporannya. Ini sangat politis.
Kritik kritik INDEF masuk akal, karena akar masalah ketimpangan ekonomi bukan dari soal naik turunnya angka statistik, melainkan sistem yang berjalan di Indonesia. Kekuasaan dikendalikan kelompok oligarki, yang menimbulkan praktik intoleransi ekonomi oleh segelintir orang berduit. Jadi, jangan pernah heran apabila BPS memang tidak ubahnya partai politik pendukung pemerintah. Melihat realitas itu, penulis berharap IKANU mampu bersuara di hadapan organisasi induknya (PBNU). Selayaknya, PBNU bersedia mengeluarkan fatwa melawan kelompok oligarki ini dengan cara lebih strategis lagi, dan tidak berhenti di tataran wacana. Fatwa dibutuhkan sebagai salah satu bentuk jihad agama, yaitu menjalankan amanah UUD 1945 dan mengisi kemerdekaan. Dalam sebuah hadits disebutkan bagaimana menjalankan Islam yang terbaik. Rasulullah saw bersabda: "engkau memberikan makan dan mengucapkan salam pada orang yang engkau kenal ataupun tidak," (Muttafaq alaihi). Makan adalah urusan perut, dan perut merupakan urusan ekonomi politik. Sedangkan salam dapat diartikan strategi kebangsaan yang penuh kebijaksanaan, permusyawaratan, dan keterwakilan.
Hadits di atas mengingatkan penulis pada prinsip Senator Amerika Serikat, Bernie Sanders, "sebuah negara tidak akan bertahan secara moral maupun ekonomi apabila ada segelintir orang yang berjumlah sedikit tetapi memiliki terlalu banyak, dan banyak orang yang berjumlah besar memiliki terlalu sedikit." Sebagai Anggota IKANU, penulis melihat ada sebuah dilema, terlebih jika harus melihat realitas hari ini dari kacamata Bernie Sanders. Pertama, segelintir kelompok ini terdiri dari orang orang pribumi sendiri. Pertanyaannya; apakah IKANU berkenan mempertimbangkan untuk tidak menaruh rasa takut dalam melawan orang orang pribumi sendiri, apalagi asing, yang kebetulan memegang kekuasaan ekonomi dan politik. Atau, ada jalan alternatif lain? Kedua, Bernie Sanders berpesan: "we need to change the power structure in America, we need to end the politcal oligarchy". Mengubah struktur kekuasaan adalah kebutuhan mendesak. Karena bukan Indonesia saja, ternyata Amerika juga dikuasai kaum oligarki. Bernie Sanders sendiri sudah tidak segan melawan kekuasaan pemerintah yang oligarkinya. Begitu juga semestinya diri kita, karena kita hanya setia pada bangsa dan negara, bukan pada penguasa. Melawan penguasa yang berkomplot dengan oligarki tidak mudah. Sejak awal Bernie Sanders sudah berpesan: "saya akan berjuang menciptakan negara di mana anak kecil tidak hidup dalam kemiskinan, dapat bersekolah, dan orang lanjut usia dapat jaminan kesehatan. Tapi, apakah saya akan sukses? Saya tidak menjamin kesuksesan itu untuk kalian". Seluruh elite pemerintah harus dihimbau bersama, terlebih karena kebanyakan dari mereka secara lahiriah merupakan intelektual produk Barat. Negara mesti berorientasi pada pengembangan ekonomi kerakyatan, sebagai bentuk tanggung jawab menjalankan amanat UUD 1945 maupun amanah agama di hadapan Tuhan yang Maha Esa. Kesejahteraan seluruh rakyat adalah cita cita inti dari kemerdekaan. Sementara kemiskinan merupakan bentuk nyata keterjajahan. Ketimpangan ekonomi dan jarak yang membentang antara orang kaya dan miskin di negeri ini harus dimaknai sebagai musuh bersama; sebuah intoleransi ekonomi yang tidak bisa dibiarkan. Di sisi lain, ketimpangan ekonomi akibat ulah oligarki ini merupakan asal muasal segala konflik sosial, bukan ideologi agama mana pun. Bernie Sanders boleh pesimis dengan keberhasilan perjuangannya, tapi kita tidak. Pertama, kelompok NU dan warga Nahdliyyin masih punya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang notabene sebagai “anak kandung NU”. Walaupun harus jujur diakui bahwa PKB masih dipandang sebelah mata oleh warga Nahdliyyin sendiri. Itu terlihat dari keberhasilannya menggalang 13.5 juta pemilih warga Nahdliyyin, atau 58 kursi DPR RI. Padahal, Direktur Alvara Research Center, Hasanuddin Ali, tahun 2018, mengatakan bahwa 10 kota besar di Indonesia menunjukkan sebanyak 58,8% warga muslim di perkotaan mengaku warga Nahdliyyin. Dengan kata lain, sudah selayaknya PKB mendapat dukungan lebih besar lagi dibanding pencapaian suara dan kursi dibanding tahun 2019 kemarin. Sementara di pedesaan, mengacu data Sensus Penduduk 2010 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam sebesar 87,18% atau 223,18 juta Jiwa. Angka yang beredar di media menyebutkan bahwa warga Nahdliyyin berkisar diangka 60 juta sampai 120 juta jiwa. Ini potensi besar bagi PKB.
Kedua, membangun relasi PKB dan PBNU ini di masa depan dapat dibangun di atas basis filosofis berupa reinterpretasi atas Khiththah NU 1984. Poin poin keumatan, keagamaan, kebangsaan dan kenegaraan dalam Khiththah '84 ini dapat didekati dengan pemikiran politis. Sehingga amanah dalam Khiththah dapat dipraktekkan melalui kerja kerja politis, salah satunya lewat kendaraan PKB. Misalnya, bagaimana cara kita menunjukkan loyalitas pada negara? Jawabannya adalah melalui program program politik PKB. "PKB Rumah Besar Nahdliyyin" dapat dijadikan slogan di Rakernas. Itupun jika memang NU betul betul mau berpolitik serius dan masuk ke pusaran politik praktis. Terakhir, penulis berharap pada IKANU agar cukup kuat bersuara di Muktamar NU ke 34 di Lampung nanti. IKANU dengan 30.000 lebih anggotanya cukup representatif untuk mendorong PBNU menjadikan Muktamar Lampung sebagai ajang merumuskan grand design program ekonomi dan politik NU ke depan, agar mampu melepaskan diri dari kekalahan ekonomi politik tahun yang lalu. Jika tidak ada terobosan baru, maka keterpurukan ekonomi dan politik NU akan berlanjut hingga putaran Pemilu 2024 nanti.[]